Analisis Validitas Diskriminan

Bilson Simamora, 5 Juni 2022

Validitas diskriminan digunakan untuk memastikan bahwa korelasi variabel-variabel pengamatan dengan konstruknya lebih tinggi dibanding dengan konstruk lain (Bagozzi dan Dholakia, 2002; Hair et al., 2014;  Ekinci, Dawes dan Massey, 2008). Pada kasus kita, diharapkan ADV1, ADV2, ADV3 dan ADV4 berkorelasi lebih tinggi dengan konstruk adv dibanding dengan ‘complex. dan ‘accept’. Demikian seterusnya. Ada dua cara membuktikannya, seperti dijelaskan berikut ini.

Cara Pertama: Menggunakan Factor Loading

Pada kasus kita, maka ADV1, ADV2, ADV3 dan ADV4 hanya berkorelasi kuat dengan ‘adv’ dan berkorelasi lemah dengan ‘complex’ dan ‘accept’. Untuk memeriksanya, kita bisa menggunakan data LISREL berikut, yang sudah dibahas pada halaman Analisis Faktor Konfirmatori. Datanya bisa diambil di sini.

Pertama-tama, kita convert data yang tadi menjadi data SPSS dengan perintah ini: File>Export Data>File Name. Lalu pilih folder dan tulis nama file dimaksud dengan memilih extension ‘SPSS Data File (*.sav).  Selanjutnya:

  1. Buka data SPSS tadi.
  2. Klik menu Analysis>Dimension Reduction>Factor.
  3. Geser ADV1, ADV2, ADV3, ADV4, COMPLEX1, COMPLEX2, COMPLEX3, COMPLEX4, COMPLEX5, COMPLEX6, ACCEPT1, ACCEPT2, ACCPET3, ACCEPT4, ACCEPT5, dan ACEEPT6 ke ruang Variables.
  4. Klik Extraction dan pilih Principle Axis Factoring (Catatan: teknik extraksi ini lebih baik untuk menguji convergent validity karena hanya mengolah common variance dan mengesampingkan unique variance).
  5. Klik Rotation dan pilih Varimax (Catatan: penjelasan tentang rotasi lihat pada bagian khusus tentang analisis faktor).
  6. Klik OK.

Hasilnya, program menghasilkan tiga faktor sah dengan varian kumulatif sebesar 61.25%. Dari output Varimax kita peroleh factor loading berikut.

Terlihat pada tabel ini bahwa hasil diskriminan tidak bermasalah untuk faktor 3 (adv). Namun, faktor 1 (complex) dan faktor 2 (accept) bermasalah. Masalahnya, variabel ACCEPT4 dan ACCEPT5 berhubungan erat dengan kedua faktor (lihat angka yang ditebalkan). Berita baiknya, validitas diskriminan tidak disimpulkan setiap item per item, namun pada level konstruk. Untuk itu, kita perlu memangkat-duakan factor loading, kemudian mencari rata-ratanya, seperti pada tabel di bawah ini.

Berdasarkan tabel di atas kita bisa menyimpulkan bahwa validitas diskriminan ketiga konstruk terpenuhi. Konstruk complex lebih banyak dijelaskan oleh variabelnya sendiri (AVE=0.0588 atau 58.8%) dibanding variabel konstruk accept (AVE=0.157 atau 15.7%) dan adv (0.003 atau 0.3%). Konstruk adv dan accept juga memiliki hasil yang sama, yatu 44.5% vs. 7.2% vs. 0.2% dan 68.3% vs. 0.1% vs. 0.5%.

Bagaimana kalau pada kasus lain kita temukan perbedaan yang tipis, misalnya 45.5% versus 47.6%? Apakah 47.6% dianggap lebih tinggi signifikan dibanding 45.5%? Kita dapat menjawab pertanyaan ini dengan uji perbedaan proporsi menggunakan uji-t. Uji ini dijelaskan pada buku-buku statistika.

Cara Kedua dengan Korelasi

Analisis diskriminan dilakukan dengan mencari korelasi antara konstruk dengan rata-ratanya.  Berdasarkan koefisien korelasi tersebut dapat dilakukan perlakuan sebagai berikut:

  1. Membandingkan nilai rata-rata korelasi antar konstruk (AR) dengan akar pangkat dua AVE atau √AVE. Apabila √AVE>AR, maka validitas diskriminan tercapai. Cara ini dilakukan oleh Ekinci, Dawes dan Massey (2008).
  2. Memangkat-duakan koefisien R menjadi R2, kemudian mencari rata-ratanya (kita namakan AVR). Apabila AVR>AVE, maka validitas diskriminan tercapai. Cara ini dianjurkan Hair et al. (2006).
  3. Menghitung korelasi variabel pengamatan suatu konstruk dengan variabel-pengamatan pengamatan konstruk yang berbeda. Kemudian dicari rata-ratanya yang dinamakan heterotrait–heteromethod correlations (HHC). Kemudian, menghitung korelasi antar variabel pengamatan yang tergabung pada satu konstruk. Kemudian dicari rata-ratanya yang dinamakan monotrait–heteromethod correlations (MHC). Kemudian dicarilah rasio heterotrait–monotrait ratio (HTMT) dengan  membandingkan HHC dan MHC. Untuk konstruk yang memang berkaitan (seperti sikap dan loyalitas berbasis sikap), bila nilai HTMT 0.90 atau lebih kecil, maka validitas diskriminan tercapai. Untuk konstruk yang tidak  bersinggungan (misalnya kualitas produk dan passion), apabila nilai HTMT=0.85 atau lebih kecil, validitas diskriminan tercapai. Cara ini dianjurkan oleh Hair et al. (2021).

Cara pertama dan kedua secara matematika sama saja. Kita akan coba cara nomor dua. Cara ketiga sebenarnya mudah, tetapi merepotkan kalau jumlah variabel pengamatan banyak, seperti pada kasus kita ini. Karena itu, kita gunakan cara kedua saja.

Output SEM telah memberikan nilai korelasi antar konstruk. Model kedua SEM pada halaman ini memberikan output dimaksud sebagai berikut:

PHI

          adv    complex    accept
        ——– ——– ——–
adv       1.00
complex  -0.04     1.00
accept    0.03     0.75      1.00

Dari output tersebut, kita bisa menghitung R2 dan membandingkannya dengan nilai AVE yang diambil dari halaman ini.

adv complex accept
adv
complex 0.0016
accept 0.0009 0.5625
adv 0.0016 0.0009
complex 0.5625
AVR 0.0013 0.2821 0.2817
AVE 0.6900 0.6600 0.5600

Terlihat secara kasat mata bahwa pada ketiga konstruk, nilai AVR lebih rendah dari AVE. Karena itu, validitas diskriminan tercapai.

Analisis Reliabilitas

Uji validitas berkaitan dengan pertanyaan apakah data yang kita memiki akurat, yaitu menunjukkan ukuran sebenarnya dari apa yang mau diukur. Ukuran sebenarnya dapat memiliki ukuran resmi (misalnya tinggi gunung Everest dari permukaan laut adalah 8849 meter), bisa pula bersifat hipothetik. Untuk memperoleh data akurat tersebut diperlukan instrumen yang handal atau reliabilitas. Bayangkan kita mengukur … read more

Bekasi, 4 Juni 2022

Bilson Simamora