Published on October 11, 2022 by Bilson Simamora | Last Updated on October 11, 2022 by Bilson Simamora
Mudjia Rahardjo*
*Professor Sociolinguistic UIN Malang
Artikel ini telah di-posting pada grup Facebook Scopus Journal Indonesia. Dipublikasikan kembali tanpa perubahan.
Beberapa hari lalu saya menjadi salah satu penguji ujian disertasi mahasiswa program doktor program studi manajemen. Bersama saya ada tujuh dosen penguji. Setelah ujian dibuka oleh pimpinan sidang, ujian dilanjutkan dengan presentasi mahasiswa untuk menyampaikan hasil penelitiannya secara ringkas dalam waktu lima belas menit dan paling lama dua puluh menit. Presentasi berjalan lancar hingga waktu yang disediakan habis. Selanjutnya ujian diteruskan dengan tanya jawab dengan para penguji yang rata-rata dosen senior. Satu demi satu pertanyaan penguji dapat dijawab dengan baik dan mahasiswa tampak menguasai materi yang ditulis.
Persoalan muncul ketika sampai penguji ketiga yang menanyakan tentang temuan dan hasil penelitian. “Apa temuan dan hasil penelitian saudara?” tanya seorang penguji senior. Mahasiswa tampak kedodoran dan gugup. Ketika pertanyaan tersebut belum terjawab, penguji justru menanyakan hal lain apa perbedaan antara temuan dan hasil penelitian. Mahasiswa semakin bingung karena tidak bisa menjawab kedua pertanyaan tersebut. Ketika mengetahui mahasiswa mulai kebingungan, penguji itu memandunya dengan mengajukan sebuah pertanyaan. “Ada berapa rumusan masalah dalam penelitian Saudara?”, tanya penguji dengan sabar. “Ada tiga”, jawab mahasiswa yang mulai berkeringat karena tegang. “Kalau begitu ada berapa jawaban?, lanjut penguji. “Ada tiga jawaban, pak”, sahut sang mahasiswa calon doktor perempuan itu. ” Nah, tiga jawaban itu namanya apa?”, tanya penguji. “Itu hasilnya”, jawab mahasiswa. “Lalu temuan penelitian Saudara apa?”, tanya penguji lagi. Mahasiswa terdiam lagi sambil bolak-balik membuka lembaran kertas naskah disertasi.
Saya menyaksikan adegan itu dengan saksama dan membuat saya berpikir mengapa hingga hampir tahap akhir studi S3 mahasiswa calon doktor itu tidak bisa membedakan antara ‘temuan’ dan ‘hasil’ penelitian. Atau mungkin dianggap sama. Dalam hati saya bertanya mengapa hal itu terjadi. Apa memang topik itu belum pernah dipelajari dalam matakuliah metodologi penelitian atau mahasiswa tidak memperhatikan ketika topik itu diajarkan. Lebih jauh saya membayangkan bagaimana jadinya jika mahasiswa itu nanti lulus dengan menyandang gelar dokrtor (Dr.) dan menjadi dosen, tetapi tidak bisa membedakan antara temuan penelitian dan hasil penelitian. Sebagai dosen pengampu matakuliah metodologi penelitian saya risau dan karena itu merasa berkewajiban untuk menjelaskan perbedaan antara temuan dan hasil penelitian melalui tulisan ini.
Penelitian merupakan aktivitas terencana untuk menjawab masalah secara ilmiah. Disebut ilmiah, salah satu sebabnya, ialah karena dasar untuk menjawab masalah itu adalah data, bukan opini subjektif, khayalan atau lamunan peneliti. Jawaban yang diperoleh dapat membuka tabir mengenai persoalan yang selama ini belum diketahui publik. Jawaban yang diperoleh berdasarkan data itu selanjutnya disebut ‘temuan’ penelitian (research findings). Temuan penelitian bersifat empirik. Sebagaimana dinyatakan oleh Bailey (1987: 24) selain bertujuan untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat pada saat yang sama penelitian, khususnya penelitian ilmu-ilmu sosial, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara teoretik.
“… the ultimate goal of a study is solving social problems and at the same time makes a valuable contribution to the theoretical social-science literature…“.
Penelitian selalu berangkat dari masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, yang lazimnya disebut rumusan masalah penelitian (research questions) dan berakhir dengan jawaban yang disebut temuan penelitian (research findings). Kualitas temuan sangat tergantung pada kualitas pertanyaan, data yang tersedia secara melimpah (lebih-lebih untuk penelitian kualitatif) dan analisis data. Karena itu, betapa pentingnya rumusan masalah penelitian yang baik. Menurut Stake (1994) rumusan masalah akan menentukan metode penelitian yang digunakan, bentuk dan jenis data yang diperoleh, cara pengumpulan data, teori yang dipilih, dan akhirnya jawaban penelitian. Sedemikian penting posisi rumusan masalah dalam penelitian, sehingga beberapa ahli menyatakan jika pertanyaan penelitian telah berhasil dirumuskan salah satu tugas terpenting penelitian sudah terselesaikan (Rahardjo, 2020)
Untuk keperluan praktis, temuan penelitian dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dengan demikian bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika temuan itu salah, karena berangkat dari data yang tidak tepat. Penelitian semacam ini sama sekali tidak ada nilai gunanya, malah bisa menyesatkan. Karena itu, betapa pentingnya temuan penelitian yang benar. Temuan penelitian yang benar hanya dapat diperoleh dari data yang benar dan analisis yang tepat. Selanjutnya temuan berupa jawaban pertanyaan disebut temuan substantif (substantive findings).
Untuk karya ilmiah mahasiswa S1 berupa skripsi, penelitian dapat disebut telah selesai jika rumusan masalah sudah terjawab. Tetapi untuk karya ilmiah mahasiswa S2 (tesis) dan S3 (disertasi), sampai diperoleh jawaban penelitian belum dapat dikatakan berakhir. Mengapa? Temuan penelitian masih perlu didialogkan dengan teori yang telah dituangkan di bagian kajian teori yang biasanya ditaruh di Bab II. Atau, bisa saja di bagian lain sesuai kesepakatan atau ketentuan perguruan tinggi masing-masing. Di beberapa perguruan tinggi atau universitas ada yang menempatkan kajian teori menjadi salah satu sub-bagian dari bab pendahuluan (Bab I).
Dialog teoretik akan melahirkan temuan formal (formal findings). Temuan formal ini berupa konsep, proposisi, atau teori. Temuan formal inilah yang disebut ‘hasil’ penelitian. Ada yang menyebutnya sebagai ‘thesis statement’. Jika ‘temuan’ penelitian bersifat konkret/empirik, maka ‘hasil’ penelitian bersifat abstrak. Kemampuan MENGABSTRAKSIKAN temuan diperlukan kontemplasi peneliti yang tinggi melalui refleksi. Ini hanya bisa dilakukan oleh peneliti sendiri, bukan teman atau pembimbing sekalipun. Dalam berkontemplasi atau refleksi, peneliti akan membuka kembali kajian atau telah teori yang telah ditulis di bab sebelumnya, atau konsep lain dari para ahli yang belum sempat dituangkan di bagian kajian teori. Karena itu, teori bukan ornamen atau aksesoris penelitian untuk menambah ketebalan karya ilmiah.
Tentang kualitas kajian teori bukan karena tebalnya halaman atau banyaknya pendapat para ahli tentang tema pokok penelitian, tetapi sejauh mana teori itu dapat membuka cakrawala pandang peneliti mengenai isu utama penelitian.Mengenai posisi di mana bagian kajian teori ditempatkan tidak begitu penting. Tetapi yang sangat penting ialah kegunaan atau manfaat teori dalam penelitian. Sebagai pengingat, dalam penelitian kualitatif, selain digunakan untuk membantu peneliti memahami gejala atau fenomena yang diteliti, teori itu untuk dikembangkan. Itu sebabnya, penelitian kualitatif sering disebut ‘theory generating‘ atau ‘theory development’. Sedangkan dalam penelitian kuantitatif, teori untuk dibuktikan (to be tested atau to be verified). Itu sebabnya dalam penelitian kuantitatif yang mengandung variabel diperlulan hipotesis.
Hipotesis adalah jawaban sementara yang dibuat peneliti sebelum jawaban yang sebenarnya diperoleh.Temuan dan hasil penelitian yang berkualitas merupakan bagian tak terpisahkan dari ukuran karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Tentang ukuran sebuah karya ilmiah (baca: disertasi) yang dapat dipertanggungjawabkan, Biklen dan Casella (2007: 12-13) memberikan rambu-rambu sebagai berikut: 1). Memberikan informasi baru kepada publik tentang isu utama penelitian, 2). Menyuguhkan perspektif menarik tentang tema pokok penelitian, 3). Menawarkan pendekatan baru terhadap tema penelitian dengan analisis yang tajam, 4). Menyajikan deskripsi menarik tentang pokok bahasan, 5). Memberikan ruang atau lapangan yang luas untuk penelitian lebih lanjut.
Bisa saja ada ukuran-ukuran lain untuk menentukan kualitas karya ilmiah. Misalnya, temuan dan hasil penelitian dapat segera digunakan untik menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sebagai contoh penelitian tindakan kelas yang dilakukan guru memang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan pendidikan yang dihadapi guru di kelas. Contoh lainnya adalah survei yang dapat digunakan untuk menjawab masalah dengan cepat. Sebagai contoh, di musim pandemi Covid-19 saat ini penelitian survei dapat mengungkap dengan cepat mengenai berapa orang yang terpapar dan gambaran beban psikologis masyarakat akibat Covid-19.
Demikian uraian ringkas mengenai perbedaan antara temuan dan hasil penelitian serta ukuran karya ilmiah yang berkualitas. Sebagai aktivitas ilmiah yang rumit, penelitian memang memerlukan kompetensi khusus yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan. Penelitian tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Selain pendidikan dan pelatihan, penelitian memerlukan pengalaman. Sejatinya, hanya mereka yang punya integritas dan dedikasi tinggi yang sanggup melalukan penelitian dengan baik dan hasilnya bermanfaat tidak saja untuk diri mereka sendiri, tetapi juga masyarakat luas, dan karena itu mulia. Termasuk kelompok ini adalah mereka yang mau belajar mengenai perbedaan antara temuan dan hasil penelitian. Semoga tulisan pendek ini bermanfaat bagi mereka yang akan dan sedang menulis karya ilmiah dan para peminat metodologi penelitian!